DISADARI atau tidak, komputer telah mengubah kehidupan manusia modern dalam kehidupan sehari-hari, termasuk bagaimana menghibur diri sendiri. Komputer juga telah mengubah cara belajar, misalnya dengan game yang bukan sekadar mainan tanpa manfaat. Salah satu video game yang populer adalah Tetris. Sebuah game di mana ubin dengan berbagai bentuk dijatuhkan dan pemain harus menyusunnya sedemikian rupa sehingga sedapat mungkin tidak ada ruang kosong.
PENURUNAN gelombang beta yang besar terjadi jika orang lebih banyak bermain video game. Beberapa studi melaporkan bahwa bermain video game dapat meningkatkan kecepatan detak jantung, tekanan darah, dan konsumsi oksigen cukup signifikan.* DOK.”PR”
Di awal tahun 1990-an Richard Haier, seorang profesor psikologi dari University of California, Amerika Serikat, memantau cerebral glucose metabolic rates di otak pemain Tetris menggunakan PET scanner. Rate glukosa menunjukkan berapa banyak energi yang dikunsumsi oleh otak sehingga secara garis besar memperlihatkan seberapa keras otak bekerja. Haier mengukur level glukosa pemain Tetris pemula ketika sedang ‘sibuk’ mengatur susunan ubin jatuh dalam permainan tersebut. Kemudian level ini diukur kembali beberapa bulan berikutnya untuk pemain yang teratur bermain Tetris. Hasilnya, meski level kesulitan game Tetris bertambah dalam skala 7, level glukosanya malah semakin turun. Artinya, kenaikan kesulitan dalam game melatih pemain secara mental memanipulasi kesulitan mengatur balok-balok Tetris menjadi terasa lebih mudah. Akibatnya, kerja otak menjadi lebih ringan. Jadi, sangat mungkin anak yang kesulitan pelajaran matematika, misalnya, akan menjadi lebih terbiasa dan menganggap mudah, apabila dia sering berlatih game matematika.
Efek negatif
Penelitian efek video game pada otak menjadi demikian populer seiring dengan persentase pemain dari anak-anak maupun orang dewasa yang terus meningkat. Game yang tersedia di pasaran memang bervariasi mulai dari catur yang membutuhkan logika, balap mobil, petualangan, hingga pertempuran senjata dan strategi perang. Selain memberikan efek positif
seperti merangsang kerja otak dan refleknya hingga menjadi lebih cerdik, serta meningkatkan koordinasi antara mata dan jari, efek negatif di luar manfaat yang diberikan juga terjadi. Beberapa orang percaya bahwa aksi kekerasan di video game atau media lain bisa mendorong perilaku yang tidak baik juga bagi pemainnya.
Beberapa studi menyimpulkan bahwa orang yang bermain game adegan kekerasan menjadi lebih agresif dan berpeluang untuk melakukan tindak kekerasan, serta berkurangnya perasaan ingin menolong sesama. Akan tetapi, kritikus juga berpendapat bahwa bukan game tersebut yang mengubah perilaku, tetapi memang sejak awal pemain tersebut punya kecenderungan bertindak kasar. Untuk itu, seorang ahli psikologi, Bruce Bartholow dari Universitas Missouri-Columbia, AS, dan koleganya menemukan bahwa orang yang bermain
game kekerasan menunjukkan respons otak yang berkurang terhadap gambar kekejaman yang asli seperti pertempuran senjata. Respons otak yang berkurang ini tidak terjadi ketika dihadapkan pada sebuah gambar yang menggugah emosi seperti hewan mati atau anak sakit. Menurutnya, mungkin hal ini berhubungan dengan kecenderungan berkelakukan keras.
Pengamatan unik lainnya juga pernah dilakukan untuk melihat bagaimana efek video game terhadap pemain. Sepasang kakak beradik memainkan sebuah game perlombaan balap mobil. Sama sekali bukan game yang mengandung nilai kekejaman atau kekasaran perilaku. Si adik memenangkan pertandingan ini. Tiba-tiba sang kakak berdiri dan memukul si adik sambil marah-marah. Keesokan harinya si adik bermain sendirian dengan jenis permainan lainnya. Kali ini ia gagal menyelesaikan satu level game. Karena jengkel, ia melempar game controler-nya dan berteriak pada layar TV “Kenapa kamu lakukan ini padaku?”.
Gelombang Beta
Lucu memang, video game bisa membuat orang jadi ‘bete’ dan bertindak kasar. Bahkan di sebuah pusat permainan game dengan koin, seseorang yang frustrasi karena gemas dengan kekalahannya memukul mesin game dan tak peduli lagi dengan sikapnya yang sangat memalukan. Apa yang terjadi di otaknya sehingga tindakan seperti itu ia lakukan ketika sedang jengkel hanya karena video game yang cuma kehidupan ‘bohongan’?
Berkaitan dengan hal itu, seorang profesor dari Tokyo's Nihon University memimpin penelitian dengan mengamati efek video game terhadap aktivitas otak. Dengan 260 responden yang dibagi menjadi tiga kelompok, masing-masing adalah kelompok yang jarang bermain video game, kelompok yang bermain video game 1-3 jam dengan frekuensi 3-4 kali dalam seminggu, dan terakhir kelompok yang bermain 2-7 jam setiap hari. Ia memonitor gelombang beta yang mengindikasikan otak sedang aktif bekerja, kemudian tingkat ketegangan yang terjadi di area prefrontal otak, dan terakhir gelombang alfa yang muncul saat otak sedang beristirahat.
Hasilnya menunjukkan, penurunan gelombang beta yang besar terjadi jika orang lebih banyak bermain video game. Aktivitas gelombang beta pada kelompok yang bermain game 2-7 jam setiap hari hampir mendekati nol, bahkan ketika mereka sedang tidak bermain game. Selain itu, pengamatan ini menunjukkan bahwa mereka banyak menggunakan area prefrontal otaknya. Beberapa responden dari kelompok ini menyampaikan bahwa mereka mudah marah, sulit berkonsentrasi, dan punya persoalan bergaul dengan teman-temannya.
Dua poin pentingnya adalah bahwa penurunan aktivitas gelombang beta dan penggunaan area prefrontal otak bisa jadi berkorelasi terhadap perilaku agresif. Berikutnya, penurunan gelombang beta masih terus terjadi meski sudah berhenti bermain bahkan saat perangkat telah dimatikan, yang artinya efeknya masih bertahan. Jika memang otak dapat dipengaruhi oleh video game sehingga menciptakan perubahan perilaku, apakah itu berarti bahwa otak
menganggap game sebagai sesuatu yang riil?
Sikap Bijaksana
Ketika sedang di tengah-tengah permainan yang seru, sering kali kita diliputi rasa takut, sungguh-sungguh memberikan perhatian, dan menjadi tegang. Menurut Akio Mori, hal ini bisa membawa efek panjang terhadap saraf refleks yang berkaitan dengan proses bawah sadar seperti bernapas dan kecepatan detak jantung. Kecepatan detak jantung sendiri dapat berubah dengan sinyal elektrik dari pusat emosi di otak atau oleh sinyal dari hormon sebagai pembawa pesan yang bersifat kimiawi. Epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin ini dihasilkan dari kelenjar adrenal sebagai respons ketika bahaya datang. Untuk yang satu ini, tentu sering kita alami di saat takut ketemu ular, takut ketinggian, dan ketakutan yang lain.
Beberapa studi melaporkan bahwa bermain video game dapat meningkatkan kecepatan detak jantung, tekanan darah, dan konsumsi oksigen cukup signifikan. Dengan kata lain, jika kecepatan detak jantung yang meningkat terjadi ketika bermain video game, artinya otak merespons video game seolah tubuh betul-betul dalam keadaan terancam.
Dengan segala keterbatasan manusia, kesimpulan dari penelitian-penelitian tersebut belum bisa dikatakan benar secara mutlak. Akan tetapi, tidak ada salahnya dijadikan sebagai salah satu referensi. Apa pun efek yang menyertai ketika seseorang bermain game hendaknya disikapi secara bijaksana. Tidak semua game menampilkan adegan kekerasan dan tidak semua orang peduli secara berlebihan pada kekalahannya saat bermain. Yang justru
perlu diwaspadai adalah apabila hobi ini membuat lalai atas kewajiban bekerja, belajar, dan beribadah.***
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/092006/28/cakrawala/utama01.htm
hohoho... kalo aku telat kali yach?? aku dah tua banget gitu buat ikut game matematika, udah lulus pula... hahah... bagus juga tuch biar nanti anak saya aja kali yach yang saya didik dengan game?? dulu sich suka tetris juga tapi ekarang jarang main ... hahah... :D
ReplyDeletetitip alamat blogs ya...
www.ulimayang.blogspot.com